Bagi pemburu yang beragama islam mesti baca ini, kita kn gk tau hewan buruan itu halal atau haram, dari pada ragu mari kita belajar bersama aja yuk mari.....
A. Syarat
Pemburu
Agar hasil
buruannya menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
yang berburu hewan adalah sebagai berikut :
1. Aqil dan
Mumayyiz
Jumhur ulama
seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat dari mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus aqil dan mumayyiz.
Maka agar
hasil hewan buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah bahwa pemburu harus
orang yang berakal dan bukan orang gila atau tidak waras. Orang gila meski
pintar berburu, hasil buruannya haram dimakan.
Demikian
juga anak kecil yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu berburu dan
berhasil mendapatkan hasil buruan. Namun hasil buruannya belum boleh dimakan,
karena ada syarat minimal, bahwa seorang anak harus sudah mumayyiz untuk
dibolehkan berburu.
Namun pendapat
yang lain dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan pemburu harus aqil dan
baligh. Maka dalam pendapat yang lainnya dari mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl
buruan orang gila dan anak kecil hukumnya halal dan boleh dimakan.
2. Tidak
Dalam Keadaan Berihram
Orang yang
sedang melakukan ibadah haji atau umrah diharuskan berihram. Dan di antara
larangan daam berihram adalah tidak boleh menyembelih atau berburu hewan. Maka
bila seorang yang sedang berihram melakukannya, dia berdosa dan wajib membayar
kaffarah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.(QS.
Al-Maidah : )
Lalu
bagaimana dengan hewan hasil buruannya?
Para ulama
mengatakan hewan hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil berburu yang
sesuai dengan syariat. Karena itu hukumnya pun tidak halal dimakan, karena
kedudukannya sama seperti bangkai hewan umumnya.
Mungkin di
masa sekarang ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih sempat berburu
hewan. Tetapi di masa lalu, dimana haji masih dilakukan dengan berjalan kaki
melintasi alam liar atau padang pasir, kebutuhan untuk makan salah satunya
didapat dengan cara berburu hewan. Namun jamaah haji tidak boleh berburu hewan.
3. Muslim
atau Ahli Kitab
Sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih hewan, maka faktor
agama yang dianut oleh orang yang berburu sangat berpengaruh pada kehalalan
hewan buruannya. Hanya mereka yang beragama Islam atau ahli kitab (Nasrani dan
Yahudi) yang dianggap sah perburuannya dan halal hasilnya.
Demikian
juga dengan hasil buruan orang yang beragama Nasrani atau Yahudi (ahlul kitab)
dihalalkan dalam syariat Islam karena Allah SWT berfirman:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Makanan
(sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah: 5).
Tidak perlu
ada ukuran tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif menjalankan
ritus-ritus keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal seseorang mengakui
agama yang dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil buruan orang yang mengaku
beragama Islam dianggap halal, meskipun barangkali dia sering meninggalkan
shalat, puasa, atau melanggar perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan
hanya status dan bukan kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Demikian
juga dengan kaum Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat dan rajin
menjalankan ritual keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran adalah formalitas
pengakuan atas agama yang dianutnya. Kualitas dalam menjalankan agamanya tidak
dijadikan patokan.
Kesimpulannya,
orang yang beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Shinto dan lain-lain,
tidak sah jika berburu dan hasil buruannya haram dimakan.
4. Membaca
Basmalah
Membaca
lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang
umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh para ulama. Dalilnya adalah
firman Allah:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
Begitu juga
hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ
Segala
sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)
Jumhur ulama
seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa
membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan. Sehingga hewan yang pada
saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik
karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah.
Sedangkan
Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum
tasmiyah (membaca basmalah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat
sah penyembelihan. Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan
basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.
Setidaknya
ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai
keharusan dalam penyembelihan.
Pertama, mereka beralasan dengan hadis
riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .
Ada satu
kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan
hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak.
Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging
tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)
Hadits ini
tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu
disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas
sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca
basamalah.
Seandainya
bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak
yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang
para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW
malah memerintahkan untuk memakan saja.
Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil
ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa
yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk
dipersembahkan kepada selain Allah. Maksud kata "disebut nama selain
Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna
"tidak
membaca basmalah".
Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang
disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Dan
sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)
Padahal para
ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada
yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.
Namun
demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan
bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja
tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu
tetap sah.
5. Bukan
Niat Untuk Yang Selain Allah
Seorang
pemburu hewan tidak boleh berniat ketika berburu untuk dipersembahkan kepada
apapun selain Allah. Tidak boleh diniatkan buruan itu untuk dipersembahkan
kepada berhala, roh, arwah, jin, setan dan sebagainya.
Hewan hasil
buruan ahlul kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti mereka tidak
menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah
ketika berburu, semisal menyebut nama Isa Almasih, ‘Udzair, atau berhala, maka
saat itu hasil buruan mereka menjadi tidak halal, berdasarkan firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)
6.
Melakukannya Dengan Tangannya Sendiri
Seorang
pemburu harus menggunakan tangannya sendiri ketika berburu, meski dengan
memanfaatkan alat seperti panah, tombak, pisau, senapan, dan lainnya.
Tidak boleh
menggunakan tangan orang lain, seperti budak, pembantu, asisten, pemburu
bayaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang memang telah memenuhi syarat
untuk berburu.
7. Bukan
Hewan Salah Sasaran
Ketika
seorang berburu dan melepaskan anak panah atau menembakkan senjatanya, sejak
awal maksud yang ada di dalam hatinya harus benar-benar berburu, bukan untuk
maksud yang lain atau karena tidak sengaja, atau juga bukan karena salah
sasaran.
Umpamanya
ada seseorang yang sedang belajar atau latihan menambak. Sasarannya adalah
botol-botol kosong yang ditumpuk sekian meter jauhnya. Ketika peluru
dilepaskan, tak ada satu pun dari peluru itu yang mengenai sasaran, tetapi
tiba-tiba ayam tetangga jatuh tergeletak tak berdaya dan mati. Ternyata ayam
itu mati menjadi korban salah sasaran tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam
itu langsung mati mendadak, otomatis berubah jadi bangkai.
Tetapi bila
sebelum menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi pertolongan terakhir,
alias disembelih secara syar’i, maka ada harapan untuk makan sate ayam
mendadak. Tentu dengan kewajiban membayar kerugian harga seekor ayam.
Berdosa saja
agar yang kena peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam tetangga, dan jangan
sampai burung perkutut yang baru memenangkan kejuaraan tingkat nasional.
Kenapa?
Karena
harganya bisa sampai 1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang terjadi, maka
kita rugi dua kali. Selain perkutut yang mati ketembak itu berubah jadi bangkai
tidak bisa dimakan, harga uang penggantiannya pun bisa langsung mengubah
seseorang jadi kere alias gelandangan untuk beberapa keturunan, karena harus
menjual seluruh rumah warisan dari nenek moyang.
8. Tidak
Buta
Syarat
terakhir yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan haruslah orang
yang masih bisa melihat dengan baik dan tidak buta.
Syarat ini
diajukan oleh mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka mengharamkan orang buta
untuk melepaskan anak panah untuk berburu hewan, atau dengan memanfaatkan hewan
pemburu.
B. Syarat
Hewan Yang Diburu
Tidak semua
hewan halal untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah persyaratan yang
harus dipenuhi terlebih dahulu, di antarnya :
1. Halal
Dagingnya
Seluruh
ulama menegaskan bahwa syarat yang paling utama dalam hal kehalalan hewan yang
matinya dengan cara diburu adalah hewan itu sendiri harus termasuk jenis hewan
yang halal daging sejak semula. Seperti rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau
pun hewan-hewan yang hidup di dalam air.
Sedangkan
hewan-hewan yang hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram,
apabila niatnya untuk dimakan.
Namun bila
berburu hewan yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para ulama berbeda
pendapat, apakah boleh memburu hewan yang haram dimakan atau tidak tetap tidak
boleh.
a.
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah : Syarat Berburu
Mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan
itu tidak halal untuk dimakan.
Dan pendapat
itu tercermin dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :
حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ
Hewan yang
halal dagingnya yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik
perorangan dan tidak bisa dipelihara
b.
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Bukan Syarat
Mazhab
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa hukumnya boleh
dan tidak mengapa. Mereka memandang hukum memburunya kembali kepada hukum
dasar, yaitu boleh atau halal. Sebab bisa saja manfaat yang ingin didapat bukan
untuk memakan dagingnya, melainkan untuk diambil kulitnya.
Dan kulit
hewan yang haram dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari
Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit
yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Selain boleh
diburu untuk diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya untuk diburu juga
atas sebab bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari hewan itu sendiri.
2.
Mutawahhisy
Yang
dimaksud hewan mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di alam bebas,
dimana cirinya tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali dengan perangkap khusus
atau diburu dengan senjata.
Meski kalau
dikejar-kejar bisa berlari menghindar, tetapi ayam peliharaan bukan termasuk
hewan mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap dengan mudah. Apalagi ayam broiler
yang sama sekali tidak bisa mempertahankan diri.
Oleh karena
itu berburu ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler dengan cara ditembak
hanya akan menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.
Tetapi ayam
hutan yang hidup liar di tengah belantara, tidak bisa ditangkap pakai tangan.
Harus digunakan perangkap tertentu untuk bisa mendapatkannya, karena sifatnya
yang liar atau mutawahhisy itu. Ayam hutan itu layak untuk diburu hingga mati
dan dagingnya halal dimakan.
3. Bukan
Hewan Tanah Haram
Hewan yang
menjadi penghuni tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah
hadits berikut ini :
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا
Sesungguhnya
Allah SWT telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal bagi siapa pun
sebelum Aku dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)
4. Matinya
Karena Terkena Peluru Senjata
Disyaratkan
agar hewan yang diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika ditembakkan dengan
senjata, baik anak panah, tombak atau peluru panas, hewan itu mati saat itu
juga atau beberapa saat namun tidak terlalu lama.
Bila hewan
itu masih hidup terus dalam waktu yang lama, dengan hidup yang normal, baru
kemudian mati, ada kemungkinan hewan itu tidak mati karena sebab panah si
pemburu. Maka hewan itu tidak halal dimakan dan statusnya menjadi bangkai
5. Tidak
Menghilang Terlalu Lama
Syarat
lainnya adalah hewan yang sudah terkena tembakan itu tidak menghilang dalam
waktu yang lama. Sebab bila hewan yang sudah kena tembak itu sempat menghilang
dalam waktu lama, dan pemburunya sudah menyelesaikan perburuannya, baru
kemudian hewan itu ditemukan dalam keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu
mati bukan karena peluru, tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.
C. Syarat
Berburu Menggunakan Senjata
Senjata yang
dibenarkan dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan bisa melukai atau
merobek kulit hewan buruan, sehingga terjadi luka dan menyemburkan darah dari
luka itu.
Senjata itu
bisa saja berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak atau pun peluru
tajam yang ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya bagaimana peluru itu
bisa menembus kulit hewan sehingga melukai dan keluar darah dari lukanya.
Sedangkan
senjata yang sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek kulit hingga
mengeluarkan darah, meski mematikan, tetapi tidak halal untuk digunakan.
Maka berburu
dengan batu yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram, palu godam atau
martil, hukumnya haram. Karena meski bisa mematikan, namun tidak mampu mengoyak
kulit hewan buruannya.
Demikian
juga berburu dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau kelereng, meski
hewan itu mati, tetapi bila tidak ada koyak pada kulit hewan itu hingga
mengeluarkan darah, hukumnya tidak sah.
D. Syarat
Berburu Menggunakan Hewan
Selain menggunakan
senjata, berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu. Tentunya hewan pemburu
adalah hewan yang buas dan punya kemampuan dasar berburu. Hewan-hewan jinak
atau ternak biasanya tidak punya kemampuan itu.
Yang
dimaksud dengan berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan buruan itu
dengan dikejar dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi intinya, hewan yang
diburu itu memang mati semata-mata oleh sebab dilukai dan diterkam oleh hewan
pemburu.
Fungsi dan
peran hewan pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan bukan sekedar
untuk menangkap hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia. Dan hukum memakan
hasil buruan ini halal dimakan dalam pandangan syariat, sehingga sudah tidak
perlu lagi dilakukan penyembelihan.
Dasarnya
adalah firman Allah SWT :
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Makanlah
hewan yang diburu oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama Allah (ketika
melepas hewan pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)
Namun ada
syarat dan ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi
dalam syariat Islam, antara lain :
1. Hewan
Pemburu Harus Terlatih
Di dalam
istilah Al-Quran, istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم), artinya hewan itu
sudah diajarkan tata cara berburu dan terlatih untuk melakukanya dengan benar, serta taat dan patuh
pada perintah pemiliknya.
Dasar dari
syarat ini adalah firman Allah SWT :
وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
Dan
hewan-hewan yang kamu ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)
Dan juga
didasarkan kepada hadits nabi SAW :
مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل
Hewan-hewan
yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama
Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan
anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)
Mazhab
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa bila bahwa
syarat dari hewan yang terlatih adalah bila diperintah, dia mengerjakan.
Sebaliknya, bila dilarang, dia pun tidak mengerjakan.
Mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu bila hewan
itu memburu hewan lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan hewan buruannya
itu. Hal itu didasari oleh hadits nabi :
إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ
Kecuali bila
anjing pemburu itu ikut memakannya, maka janganlah kamu makan (hewan burua
itu), sebab aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari)
Namun syarat
ini tidak berlaku bila hewan pemburunya berupa burung pemburu, karena sulitnya
mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak termasuk bila hewan pemburu itu
meminum darahnya tapi tidak memakan dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu
itu hanya meminum darah korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan
itu masih halal untuk dimakan manusia.
2. Kulit
Buruan Harus Luka dan Terkoyak
Syarat kedua
dalam masalah ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu hewan pemburu itu
harus dapat sampai mengoyak kulit hewan buruannya, sehingga dari lukanya itu
keluar darah segar. Dan matinya hewan buruan itu semata-mata karena luka dan
kehabisan darah.
Posisi letak
luka yang mengeluarkan darah segara itu sendiri tidak harus di leher seperti
ketika menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari tubuhnya. Sebab intinya
bagaimana caranya agar hewan buruan itu mati karena kehabisan darah, akibat
keluar lewat luka-luka yang menganga.
Maka bila
hewan buruan itu ditemukan mati setelah diburu dan dikejar-kejar, tetapi tidak
ada luka menganga dan tidak ada darah yang keluar, berarti boleh jadi hewan itu
mati oleh sebab lain. Hewan buruan yang terbukti mati karena tercekik, terantuk
batu, jatuh dari ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan
sebagainya, maka hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai.
Baik hal itu disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu
mengalami sendiri.
Syarat ini
diajukan oleh Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara resmi, dan juga oleh
sebagian dari para ulama di dalam lingkup mazhab As-Syafi’iyah. Istilahnya
versi muqabilul adhzar.
Sedangkan
versi al-ahdzhar dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan masalah ini.
Demikian juga pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di dalam jajaran para
ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, tidak mengajukan syarat ini. Dasar pendapat
mereka adalah umumnya ayat, dimana Allah SWT mempersilahkan kita makan dari apa
yang diburu oleh hewan pemburu, tanpa menyebutkan syarat harus ada luka di
tubuh hewan itu yang mengeluarkan darah dan mati karena hal itu.
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Makanlah
dari apa yang telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS. Al-Maidah : 4)
3. Tuannya
Harus Muslim atau Ahli Kitab
Syarat
ketiga adalah bahwa hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya sendiri,
melainkan bekerja atas perintah dan komando dari tuannya. Dan syarat yang
berlaku dalam hal ini, tuannya harus seorang muslim, atau setidak-tidaknya dia
seorang ahli kitab, baik memeluk agama Kristen dan Yahudi.
Bila hewan
itu tanpa dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski tidak dimakannya,
tetap saja hasil buruannya itu haram dimakan.
Sebaliknya,
meski hewan itu berburu lewat perintah tuannya, tapi bila tuannya bukan seorang
muslim atau ahli kitab, tetap saja hewan buruan itu haram dimakan.
Dasar dari
syarat ini dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
Sembelihan
ahli kitab itu halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)
Meski ayat
ini bicara tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat ini juga mencakup
masalah berburu hewan menggunakan hewan pemburu.
4. Hewan Itu
Tidak Mengerjakan Hal Lain
Syarat yang
keempat dari berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu adalah ketika diperintah
oleh tuannya, hewan itu tidak mengerjakan perbuatan yang lain, tetapi langsung
berburu. Syarat ini dinashkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Sebab kalau
hewan itu mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu, maka langkahnya
dalam berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya, melainkan karena
keinginannya sediri.
Maka bila
setelah diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat makan roti terlebih
dahulu, atau menunaikan hajatnya seperti kencing atau buang air besar, maka
ketika dia meneruskan berburunya, diaggap sudah bukan lagi atas dasar perintah
tuannya.
Hal yang
sama juga berlaku manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak berhasil dan
kembali lagi kepada tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu kembali lagi mengejar
buruannya semula namun tanpa perintah dari tuannya, maka hukumnya hasil buruannya
juga tidak halal.
Demikian
penjelasan singkat terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam.
Semoga bermanfaat, amin.
( 12.30PM 22-11-2015 www.rumahfiqih.net )